Renungan RamadhanHari ke-22
Allah Ta’ala Menerima Amalan dari Orang yang Bertaqwa
Tujuan puasa adalah membentuk insan yang bertaqwa. Taqwa inilah yang akan mengarahkan ia beramal taat dan menginggalkan maksiat. Yang akan berimbas pada pengampunan dosa yang terdahulu. Hingga akhirnya ia bisa masuk surga yang seluas langit dan bumi.
Taqwa adalah gelar pangkat paling mulia yang disandang seorang hamba.
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
Maknanya: Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertaqwa (QS. Al ujurat: 13)
Orang bertaqwa itulah yang dinamakan wali-wali Allah Ta’ala.berarti siapapun bisa menjadi wali. Tidak perlu harus “tirakatan”, yaitu amalan-almalan khusus yang aneh-aneh, seperti semedi dan lain-lain. Cukup melaksanakan perintah Allah Ta’ala yang sudah diketahui oleh semua hamba Allah Ta’ala, diamalakan dengan ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah. Insya Allah bisa meraih gelar taqwa sekaligus gelar wali.
Allah Ta’ala berfirman:
أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ () الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ
Maknanya: Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak perlu ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Wali Allah itu adalah orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. (QS. Yunus: 63-63)
Hanya dari orang-orang bertaqwa amalan itu akan diterima Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman, ketika mengkisahkan kisah dua orang anak Adam:
قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
Maknanya: (Salah satu dari anak Adam Itu) berkata: Sesungguhnya Allah Ta’ala hanya menerima amalan dari orang yang bertaqwa (QS. Al Maidah: 27)
Dikisahkan, pernah ketika Abdullah bin Umar bersedekah, anaknya mengucapkan doa, “semoga Allah Ta’ala menerima sedekahmu wahai ayah”. Abdullah bin Umar pun berkapa pada anaknya, “wahai anakku, seandainya aku tahu ada satu sujud dariku yang diterima oleh Allah Ta’ala, maka aku lebih suka untuk segera mati daripada tetap hidup”.
Maksud beliau adalah, karena kalau kita sudah tahu amalan kita diterima oleh Allah Ta’ala, berarti kita sudah tahu bahwa kita termasuk orang yang bertaqwa, karena taqwa adalah cita-cita yang ingin ditempuh dalam hidup ini. Jadi kalau cita-cita hidup sudah diraih, maka tidak ada lagi tugas dalam hidup ini, hanya kematian yang diharapkan, agar bisa mati dalam keadaan masih dalam keadaan bertaqwa.
Akan tetapi, kita tidak bisa mengetahui tercapai atau tidaknya cita-cita ini sekarang. Bahkan Allah Ta’ala melarang hambaNya yang mengaku-aku sudh paling suci; banyak beramal sholeh; terjauh dari perbuatan maksiat.
Allah Ta’ala berfirman:
فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
Maknanya: Janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Allah lah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa. (QS. An Najm: 32)
Larangan ini dikarenakan ia bentuk pengakuan berupa karangan belaka. Sebab, orang yang mengaku bertaqwa berarti ia mengaku sebagai penghuni surga, padahal itu adalah hal ghaib yang perlu pernyataan dari Allah Ta’ala atau Rasulullah siapa yang sudah dijamin masuk surga. Tugas kita hanya berusaha dengan keras untuk menjadi taqwa. Karena kita belum tahu akhir perjalanan hidup kita yang mungkin saja berubah-ubah, Wallahu A’lam.
Berarti, jadikanlah ini cita-cita kita dalam berpuasa, yaitu meraih gelar taqwa ini. Lalu pertahankan gelar ini sampai kita mati.